Tanpa Ditopang Industri, Pertumbuhan Delapan Persen Hanyalah Mimpi

Ilustrasi Perkantoran Jakarta. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jika Anda mengalami batuk, katakanlah dalam dua sampai tiga hari, Anda mungkin cukup meminum obat pereda dengan harapan bisa segera sembuh. Tapi jika batuk Anda tidak sembuh hingga lebih dari dua pekan, Anda tentunya semakin waspada soal penyakit apa yang sebenarnya sedang diderita.

Kira-kira beginilah analogi yang menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini. Misalnya, deflasi yang terjadi beruntun lima bulan terakhir ini. Memang kita belum bisa mengambil simpulan kausalitas lebih jauh dari gejala deflasi saat ini. Asumsi pemerintah bahwa deflasi terjadi dari sisi penawaran sebagai efek peningkatan produksi terutama pada komoditas pangan sebenarnya tidaklah keliru. Kondisi ini dapat dilihat dari inflasi volatile food pada masa yang sama memang sedang mengalami penurunan.

Tapi seperti yang saya tuliskan di muka, “batuk-batuk” semacam ini bisa menjadi peringatan dari penyakit ekonomi yang lebih serius. Deflasi, yang jika terjadi secara berkelanjutan, justru lebih kuat diakibatkan oleh kerontokan daya beli masyarakat.

Asbabnya, kita tidak dapat mengisolasi amatan semata pada data deflasi. Gejala “batuk-batuk” lain yang saling berkelindan dan menunjukkan problem serius di antaranya adalah anjloknya jumlah kelas menengah sebagai pendorong konsumsi; jebloknya indeks manajer pembelian (Purchasing Managers Index, PMI) manufaktur; hingga gelombang PHK belakangan ini.

Anjloknya kelas menengah jelas menjadi gejala dari penyakit yang sangat serius. Mereka adalah motor penggerak konsumsi nasional. Ketika kelas ini tertekan, daya beli akan turun, dan konsumsi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi tergerus. Bahkan bukan hanya soal turunnya daya beli, tapi menjadi sinyal pelemahan fondasi ekonomi nasional yang selama ini ditopang oleh sektor konsumsi.

Semakin lesunya sektor manufaktur seperti terlihat dari Indeks PMI yang terjun bebas adalah indikasi lain yang sangat beririsan karena manufaktur adalah jantung produksi nasional. Ketika sektor ini melemah, implikasinya bisa sangat luas mulai dari penurunan ekspor hingga hilangnya lapangan pekerjaan. Tidak lain dan juga tidak bukan: ini adalah dampak jangka panjang dari senjakala industri nasional kita, yang kini sudah mulai kita rasakan gejalanya.

Senjakala Industri Nasional

Dalam sepuluh tahun terakhir, industri nasional kita semakin terpuruk sejalan dengan laju deindustrialisasi yang tengah terjadi. Keterpurukan itu dihajar dari dua arah, jatuhnya pasar ekspor global dan tergerusnya pasar domestik. Resesi global yang dipicu kenaikan suku bunga dan inflasi tinggi menyebabkan masyarakat dunia lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan energi. Sementara pasar domestik kita sedang tertekan akibat banjir produk impor.

Industri tekstil yang menyumbang nilai ekspor ketiga paling besar, misalnya, dalam sepuluh tahun kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) menyusut dari 1,40% pada 2010 menjadi 1,11% di tahun 2023 lalu. Padahal industri ini menyerap hingga tiga juta delapan ratus tujuh puluh ribu tenaga kerja dan memenuhi 70 persen kebutuhan sandang nasional. Namun hingga Agustus 2024, industri ini mengalami kontraksi tajam ditandai dengan lima belas ribu PHK sejak awal 2024.

Industri lain yang tampak bertumbuh pesat namun sangat rentan adalah kosmetik. Kendati jumlah industrinya bertumbuh 20 persen dalam dua tahun terakhir, sayangnya lebih dari 90 persennya masih memiliki tingkat resiliensi rendah. Seperti yang dialami tekstil, industri kosmetik juga dihajar oleh produk impor terutama yang datang dari Tiongkok. Daya saing industri kosmetik terlihat melemah ditandai dengan semakin tajamnya defisit neraca perdagangan. Pada tahun 2023, defisitnya mencapai 288,18 juta USD, melampaui tahun 2014 yang kala itu sebesar 39,92 juta USD.

Tentu saja dengan tujuan untuk mendorong kualitas lapangan kerja dan peningkatan upah riil, kita butuh industrialisasi masif. Perhitungan kami setidaknya kontribusi manufaktur pada PDB mencapai kisaran 25 sampai dengan 30 persen. Masalahnya, kondisi kita saat ini sebaliknya: deindustrialisasi dengan kontribusi PDB dari manufaktur hanya di kisaran 18 persen. Jelas masih sangat jauh.

Prof. Telisa Aulia Falianty, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), pada forum diskusi pentahelix (14/08) yang diadakan Next Policy terkait penguatan industri lokal turut menyoroti masalah kebijakan yang sering berubah dan kurangnya sinkronisasi kebijakan ekonomi sebagai faktor utama yang memperparah iklim industri kita.

Disamping itu, para pelaku industri menghadapi tantangan besar dalam memprediksi arah kebijakan ekonomi pemerintah yang berdampak pada keputusan investasi mereka. Prof Telisa menambahkan, “Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, kita perlu menciptakan iklim usaha yang lebih stabil dan ramah bagi pelaku industri. Ini berarti memperbaiki regulasi, memperkuat kepastian hukum, dan memastikan sinkronisasi kebijakan antar lembaga pemerintah,” Ujar Prof Telisa.

Deindustrialisasi ini juga setali tiga uang dengan kegagalan dalam melakukan transformasi struktur ekonomi nasional ke sektor bernilai tambah tinggi, yang sederhananya dilihat dari komposisi barang ekspor sebagai proksi daya saing perekonomian.

Ekspor utama kita masih berupa barang industri manufaktur berbasis kekayaan alam dan buruh murah seperti batu bara, minyak sawit, dan produk logam dasar. Bahkan komposisi ini tidak jauh berbeda dengan era pertengahan Orde Baru, yang artinya tidak ada pendalaman berarti dalam struktur industri kita selama tiga dekade.

Lemahnya dorongan pada diversifikasi ekonomi menyebabkan tidak banyak investasi masuk pada sektor bernilai tambah tinggi. Jika terus seperti ini, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan kesempatan kerja secara layak? Bagaimana daya beli bisa didongkrak sementara produktivitas serta upah tidak dapat bertumbuh secara signifikan? Dengan kondisi ini, pertumbuhan ekonomi delapan persen masih terasa seperti mimpi di siang bolong.

Mimpi Pertumbuhan Delapan Persen

Mimpi Prabowo-Gibran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen tidak mungkin terwujud tanpa industrialisasi yang masif dan terarah. Industrialisasi adalah kunci untuk meningkatkan daya saing nasional, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong ekspor, yang semuanya berkontribusi pada peningkatan PDB. Agenda industrialisasi jelas punya efek pengganda yang sangat besar.

Tanpa basis industri yang solid, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya akan bergantung pada sektor konsumsi dan komoditas, yang rentan terhadap fluktuasi global. Bahkan indikator konsumsi sendiri bisa tertekan sedemikian rupa, seperti yang terjadi belakangan ini, sebagai akibat lanjutan dari senjakala industri nasional.

Industri yang digerakkan oleh lokal mau tidak mau harus diperkuat untuk meningkatkan nilai tambah, menciptakan pekerjaan berkualitas, dan mengurangi ketergantungan pada impor terutama bahan baku. Industrialisasi lewat kebijakan yang integratif dan terarah dapat menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi yang diimpikan. Paket kebijakan ini, saya yakin, sudah menjadi bagian integral dari kebijakan ekonomi Prabowo-Gibran. Karena tidak mungkin target delapan persen tidak diiringi dengan dasar strategi dan komitmen akan pembangunan industri dari pemerintahan baru ini. Semoga saja.

https://happyblog.id/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*